Berenang di antara dua tebing, beribu-ribu kepiting kecil yang terinjak kaki, dan monyet-monyet bergelantungan di antara pepohonan menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Pertanyaan yang terus aku cari saat aku merenung, indahnya “Green Canyon” mengingatkanku kembali akan pertanyaan-pertanyaan itu sejak aku kecil. Ribuan kepiting kecil yang aku injak mengingatkanku akan pertanyaan-pertanyaan itu. Mengapa mereka hidup selemah itu? Dan apa tujuan mereka hidup? Begitu juga monyet-monyet yang bergelantungan, Apa tujuan mereka hidup? Kemudian pertanyaanku mengerucut pada keberadaanku dan manusia. Pertanyaan yang mungkin sangat mendasar bagi setiap manusia dan mungkin berbeda untuk setiap individu dan aku pun terus mencarinya. Untuk apa aku diciptakan? Apa tujuanku? Mengapa terlahir sebagai Muslim? Bagaimana dengan yang Kristiani, Budha, Hindu, dan bahkan Yahudi? Dan masih banyak pertanyaan yang terus berkicau di pikiranku. Ah, terlalu kompleks untuk otakku!
Malu bertanya, sesat dijalan. Banyak bertanya memalukan. Aku tidak berada di keduanya, aku mendapatkan sedikit keywords untuk memahami apa yang aku tanyakan dari orang yang lebih tahu. Tepat setelah sholat Ashar aku ikuti sebuah ceramah tentang mengenal Allah. Mengenal yang menciptakanku? Ternyata itulah awal bagaimana aku bisa menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku dan aku mulai memikirkannya satu per satu tentang mengapa aku harus mengenal Allah.
Bagi mereka yang atheis dan agnostik, keberadaan Tuhan mungkin masih diragukan. Hidup dalam keraguan semacam itu pasti sangat tidak menyenangkan. Apalagi, selain tidak terlihat, Tuhan yang aku sembah selama ini tidak bisa dibayangkan seperti apa wujudnya. Berbeda dengan Kristiani yang memiliki Yesus dengan salibnya, Budha dengan patung Budha Gautamanya, dan masih banyak macam agama yang memiliki wujud Tuhan yang jelas. Apakah mengenal selalu harus melihat dan membayangkan wujudnya? Apalagi mengenal Tuhan? Aku kira tidak ada yang mampu membayangkannya di dunia, Tuhan yang menciptakan segalanya, pastilah Dzat yang kuat, tahu segala yang Dia ciptakan, dan tentu punya aturan. Mungkin aku belum bisa membayangkanNya atau bahkan melihatNya saat ini, tapi Aha! Aku ingat masih ada KalamNya yang tertuang jelas di Al-Qur’an. Kurasa memang cukup bagiku dan manusia pada umumnya mengenal Allah dari Al-Qur’an. Tidaklah mungkin seorang Nabi Muhammad S.A.W. mengarang Al-Qur’an yang begitu kompleks, mendetail, dan akurat jika tanpa Kalam dari Allah S.W.T. Memang benar apa yang Allah sampaikan di Q.S. Al-Baqarah (ayat 2) yang artinya,“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” Tidak ada yang perlu diragukan lagi, dengan mengenal Allah dan meyakini keberadaannya, setidaknya aku bebas dari segala keraguan, keraguan akan keberadaan Tuhan yang membuat hidup menjadi sama sekali tidak tenang.
Ketenangan membawa hati menjadi tentram, hanya dengan mengingat Allah hatiku menjadi tentram di kala duka apalagi di kala suka! Dan ya, lagi-lagi hal itu juga Allah sampaikan melalui Al-Qur’an, tepatnya dalam Q.S. Ra’du ayat 28 yang artinya “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.
Manusia diciptakan memang hanya untuk menyembah Allah semata, mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan di Alam semesta ini. Kata orang atheis, “Selemah itukah Tuhan, sehingga meminta pengakuan?” Kita yang lemah memang wajib mengakuinya jika ingin selamat, bukankah itu hal yang sangat mudah dan tidak mahal? Aku tidak mengerti pola pikir orang-orang itu. Mengenal Allah mengembalikanku ke fitrahku sebagai manusia, yaitu untuk menyembah Allah. Sejak aku belum ada di dunia ini, ibarat sebuah PC, ruh yang ada di raga ini sudah memiliki operating system tersendiri dan default pengaturannya adalah aku memang sudah tahu sejak awal (sebelum aku ada) bahwa Allah adalah Tuhanku dan Tuhan semua umat manusia dan aku serta semua ruh manusia mengakui keberadaan Allah. Al-Qur’an yang super lengkap, lagi-lagi menerangkannya dalam Q.S. Al-‘Araf :172 yang artinya “Dengan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka Menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan)” Ayat ini juga menjawab pertanyaanku tentang bagaimana mereka yang terlahir Yahudi, Nasrani, Buddha, atau agama lainnya, sejatinya Allah telah meng-install setiap manusia untuk mencari Tuhan sesungguhnya yaitu Allah S.W.T. Akan tetapi, hidup tetaplah pilihan, terdapat banyak pilihan setelah manusia dilahirkan, dan Allah tetap adil dalam mempelakukan setiap manusia di dunia ini.
Setiap manusia pasti ingin kehidupan yang baik, tentram, dan menyenangkan. Tidak ada yang ingin mendapat duka, kesulitan, apalagi musibah. Pada intinya manusia hanya ingin bahagia di dunia ini. Tapi, sepertinya tidak ada yang instan untuk didapatkan, ada usaha dibalik kebahagiaan, ada pengorbanan sebelum kebahagiaan. Aku jadi teringat janji Allah dalam Q.S. An-Nahl 97 yang artinya “Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Memang benar apa yang kupikirkan sebelumnya, selalu ada hal yang tidak enak (usaha) sebelum yang enak (padahal tidak ada yang tidak enak dalam mengimani Allah S.W.T), Allah Yang Maha Adil akan memberikan kehidupan yang baik kepada orang-orang beriman dan mengerjakan amal saleh, balasannya pun lebih dari apa yang mereka kerjakan. Walaupun, wujud kebahagiaan itu bukan semata kemudahan dalam hidup, kekayaan, dan kehormatan, tapi lebih dari itu; kebahagiaan sesungguhnya, yang aku dan manusia di bumi ini cari adalah ketenangan, keyakinan, dan ketentraman hati.
Menjadi seorang Muslim selalu meyakini akan adanya kehidupan berikutnya. Bagaimanapun, setelah ini aku akan menghadapi dua pilihan, surga atau neraka. Kebahagiaan di dunia adalah tujuan level 1 dari hidupku, level berikutnya aku juga menginginkan surga. Lagi-lagi Al-Qur’an yang sempurna menjelaskan mekanisme dan skenarionya dalam Q.S. Muhammad ayat 15 yang artinya “(Apakah) perumpamaan (penghuni) janah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahanam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?” Sangat menakutkan bagiku, untuk skenario yang kedua, yaitu masuk neraka. Betapa tidak menyenangkan tempat itu, tapi betapa mudah aku masuk ke tempat itu.
Pada awalnya aku mengira jika Surga adalah tujuan akhirku dan setiap manusia, tapi ada nikmat yang lebih tinggi dari surga yaitu melihat Allah, seperti janji Allah dalam Q.S. At-Taubah ayat 72 yang artinya adalah “Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” Sungguh indah dapat melihat Dzat yang selama ini memberiku banyak nikmat yang tidak terbalaskan.
Lalu bagaimana dengan tujuanku sebagai muslim? Apakah aku benar-benar menginginkannya? Dalam hatiku yang terdalam aku ingin menjadi orang seperti itu. Yang bisa aku lakukan adalah terus mencari, belajar, dan melaksanakan apa yang Dia perintahkan. Cukup bagiku semua alasan tadi untuk menjadikan Allah adalah tujuanku satu-satunya. Logikaku sebagai manusia tidak bisa memahaminya secara keseluruhan, Aku yakin logika manusia tidak akan pernah mencapai logika Tuhan,atau mungkin bahkan tidak ada istilah logika bagi Tuhan karena Dia yang menciptakan, dan istilah logika muncul dari ciptaanNya.
Wahai Saudaraku yang masih mempertanyakan Allah? Temukanlah jawabannya di Al-Qur’an atau tidak akan kau temukan selamanya! Wallahu’alam
Note: Tulisan ini dipublikasikan pada Majalah Berdzikir Forum Studi Islam FE UI.