Abad 21 ini, kita tentu tidak asing lagi dengan istilah Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati atau bahkan dipuja-puja. Kasus “Innocence of Moslem” hingga targedi Gaza saat ini bermula dari ketidakjelasan posisi HAM di mata para penganut Liberal. Kali ini penulis ingin menganalisis lebih dalam tentang HAM yang dijunjung tinggi oleh para Liberalis. Penulis akan lebih banyak mengarah pada Amerika Serikat sebagai model dari Liberalis sejati.
Pada dasarnya, HAM merupakan sesuatu yang sepantasnya atau bahkan harus ada pada setiap individu. HAM ada untuk melindungi setiap individu atas apa yang seharusnya ia dapatkan. Namun, HAM pula yang dapat merugikan setiap individu yang tidak bisa mempertahankannya. Liberalis percaya jika hak setiap individu harus ditempatkan diatas segala-galanya dan inilah sumber masalah yang hingga sekarang belum terpecahkan. Sebagai bangsa yang lebih muda dari peradaban Arab, Amerika dengan Liberalisme dan demokrasinya tidak memiliki dasar ataupun pedoman yang kuat untuk menjalankan hukum yang mereka buat sendiri, sehingga semua kebijakan, semua aturan masih dapat diperdebatkan karena mereka menggunakan logika masing-masing dalam bertindak dan hal semacam itu lebih dekat dianalogikan seperti seorang anak kecil yang terlalu berlebihan dalam menanggapi sesuatu, Setidaknya ada beberapa freedom dari keluarga freedom of dan right to yang dianut para liberalis yang induknya adalah individual rights.
Individual rights
Sejatinya individual right telah ada dari kita lahir hingga meninggal dunia. Para liberalis percaya bahwa setiap individu bebas menentukan jadi apa dirinya sekarang atau pun nanti, bahkan orang tua pun tidak dapat mengaturnya.Individual right pula yang memunculkan banyak “freedom”, banyak “right to”, yang terkadang (bahkan sering: red) kontradiktif satu sama lain.
Freedom of expression adalah salah satu keluarga freedom of yang paling banyak menimbulkan masalah. Film Innocence of Moslem yang benar-benar menghina Islam telah menewaskan satu kedubes AS di Libya. Pada dasarnya kebebasan berekspresi merupakan keadaan dimana seseorang diperbolehkan mengungkapkan apa yang ia rasakan, apa yang ia pikirkan dengan bebas. Tak pernah ada batasan yang jelas sampai mana ‘bebas’ itu berlaku. Inilah poin yang selalu dapat diperdebatkan, ketika ada suatu kasus yang menyangkut freedom of expression maupun freedom of speech, selalu tak jelas akhir penyelesaiannya. Masalah itu timbul pun bukan hanya kepada islam namun, juga pada agama lain seperti kasus Lady Gaga yang menciptakan lagu “Judas dan Born this way” yang isinya menghina kristen.
Orang awam akan selalu melihat Islam sebagai agama yang tanpa kebebasan, dalam poin ini adalah kebebasan berekspresi. Kata orang-orang bijak, janganlah melihat sesuatu dari kulitnya, hukum Islam seringkali dikambinghitamkan atas berbagai hal yang dianggap tidak baik bagi para liberalis karena mereka hanya melihat islam dari satu penggal sisi, bahkan kadang sengaja melebih-lebihkannya. Mari kita mulai dari hal yang paling sederhana yaitu tentang freedom of speech dalam Islam. Nabi Muhammad s.a.w. dalam sejarahnya adalah seorang pemimpin yang paling banyak melakukan musyawarah untuk mengatasi berbagai persoalan yang muncul di dalam masyarakat, setiap orang bebas menyampaikan pendapat. Namun, freedom of speech dalam Islam bukanlah dalam takaran yang rendah, kita tentu pernah dengar tentang sebuah kalimat “berpikirlah sebelum bicara”. Itulah yang diajarkan Islam, ketika kita ingin mengungkapkan sesuatu, selayaknya kita berpikir terlebih dahulu apakah itu pantas atau tidak, apakah itu benar atau tidak. Akal dan pikiranlah yang membedakan manusia dengan hewan, di era modernisasi ini, seluruh manusia dituntut untuk lebih manusiawi dan liberalis pun setuju dengan itu. Namun, praktiknya banyak sekali perilaku hewani yang semakin merajalela, mulai dari manusia yang tak berpakaian santun alias menutup aurat, hingga cara berekspresi, berbicara, maupun menyelesaikan masalah dengan tanpa etika bahkan dengan kekerasan.
Right to choose menjadi anak emas individual right yang selanjutnya. Ketika gay marriage1 diperbolehkan di Amerika Serikat, Liberalis akan mengatakan bahwa itulah hak untuk memilih, kita tidak bisa mengintervensinya sama sekali, bahkan harus kita dukung karena mereka kaum minoritas. Right to choose memperbolehkan setiap individu untuk memilih dan menentukan akan jadi apa dirinya. Bermula dari di “dewa” kannya right to choose ini, muncullah “pelegalan” hubungan lesbian, transgender, biseksual, hingga aborsi karena mereka anggap ini adalah right to choose. Islam sangat mengharamkan praktik-praktik tersebut, ada banyak hikmah dibelakangnya, sangat jelas bahwa islam ingin menempatkan manusia di derajat yang paling tinggi diatas makhluk-makhlukNya salah satunya dari sisi pembedaan manusia dan hewan (yang juga menjadi misi liberalis), Islam melarang praktik-praktik tersebut karena memang banyak kerugian yang akan di dapat di dunia apalagi di akhirat (bagi yang percaya akhirat:red).
Firman Allah di dalam Surah As-Syu’araa’, ayat 165 dan 166 yang bermaksud:
“Patutkah kamu melakukan hubungan jenis dengan lelaki dari kalangan manusia,
“Dan kamu tinggalkan apa yang diciptakan oleh Tuhan kamu untuk kamu (melakukan hubungan yang halal) dari badan isteri-isteri kamu? (kamu orang-orang yang bersalah) bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas (keinginan kebanyakan hewan)!”.
LGBT2 plus aborsi sangat tidak baik untuk fisik maupun mental manusia, mulai dari rentannya tubuh terhadap Penyakit Menular Seks hingga kematian, terkucilkanya kelompok-kelompok itu dari masyarakat hingga makin tertindasnya mereka di kalangan masyarakat. Lebih lanjut, liberalis beralasan bahwa LGBT tidak bisa diobati, tidak bisa diatasi selain dibiarkan dan “dilindungi” (menurut mereka :red) haknya. Sesungguhnya, banyak dari orang-orang menyimpang itu tidak menginginkan kondisi mereka yang suka sesama jenis, berpindah jenis kelamin, maupun hal-hal menyimpang lainnya. Sejatinya mereka membutuhkan perbaikan, bukan dibiarkan. Islam melindungi umatnya dengan mengembalikan mereka pada fitrahnya, bukan “melindungi” dengan membiarkannya dan melegalkannya. Percayalah orang-orang menyimpang itu, mampu kembali menjadi normal dengan beragam cara, dengan mendekatkan diri kepada Allah. Allah tidak pernah menguji seseorang melebihi batas kemampuannya, begitu juga orang-orang menyimpang ini.
Terakhir namun bukan yang terakhir, feminist movement, para liberalis mengaku bahwa mereka sangat “respek” terhadap hak-hak wanita. Untuk memilih pemimpin, memimpin, bekerja, tak menutup aurat, hingga memiliki kedudukan yang “setara” dengan laki-laki. Oleh sebab itu ,maka tidaklah heran jika kini banyak anak yang tidak terurus akibat sang ibunda bekerja, banyak pria yang malas bekerja karena mengandalkan pekerjaan isterinya, semua itu karena manusia mulai melupakan, mulai risih untuk menjalankan perannya di dunia yang sangat sebentar ini. Tidak terbantahkan jika alam semesta ini sejatinya memiliki perannya masing-masing, mulai dari tanah hingga udara, semua menjalankan tugasnya dengan baik. Begitu juga dengan manusia, masing-masing memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Dalam Islam sebagai seorang pria, ia wajib menafkahi keluarganya dan wajib menafkahi/mengurusi ibunya, menjadi imam dalam keluarganya, semua itu bukanlah pekerjaan mudah jika tanpa dukungan sang isteri yang berperan sebagai seorang “pengayom” dalam sebuah keluarga, mendidik generasi emas yang akan melanjutkan peradaban ini, Islam tidak pernah melarang wanita untuk juga bekerja membantu suaminya, para isteri pun bisa berkarya di dalam rumah sambil mendampingi buah hatinya di rumah,dan masih banyak cara lain yang tetap menjaga prioritas sebagai seorang “ibu” sebaik mungkin. Betapa besar peranan Ibu dan Ayah. Masihkah tugas antara pria dan wanita tidak setara? Masing-masing memiliki peranan yang sangat besar untuk kemaslahatan umat manusia. Definisi “setara” versi liberal sejatinya membuat keseimbangan “ekosistem” menjadi kacau, layaknya istilah “ekosistem” dalam pelajaran IPA manusia pun memiliki “ekosistem” nya yang wajib kita pelihara dengan baik.
Lebay adalah kata yang cukup merepresentasikan betapa berlebihannya liberalis menilai hak-hak individu. Pada akhirnya, logika manusia masihlah sangat terbatas, kita tidak akan pernah bisa melampaui logika Tuhan, Allah mengatur segala sesuatunya karena Allah ingin melindungi umatnya dari keburukan. Wallahu’alam
1 Gay marriage adalah pernikahan antar sesama jenis (pria) yang telah dilegalkan di Amerika Serikat, begitu pula untuk Lesbian marriage, meski telah dilegalkan, masih banyak perdebatan akibat kebijakan tersebut, itulah logika manusia, sangat terbatas. Lebih lanjut http://www.marriageequality.org/Federal-cases-DOMA
2 LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender)
Note: pernah dipublikasikan pada Buletin Berdzikir Forum Studi Islam FE UI