Satu syawal menjadi hari yang aku tunggu-tunggu karena akan ada libur panjang, bisa bersenang-senang, dan mendapat banyak “angpau”, aku jugasangat senang ketika tanggal dua puluh lima desember datang karena lagi-lagi hari itu libur dan banyak mendapat uang, begitu juga dengan hari raya imlek. Aku memang terlahir dalam keluarga yang lebih dari berkecukupan, kami sekeluarga hidup dengan uang dan emosi. Aku tak pernah sedikitpun mengenal agamaku dari orang tuaku yang menurut KTP nya adalah orang islam. Praktis, aku tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal berbagai ritual itu hingga aku bersekkolah di Taman Kanak-kanak, disana aku diajari tentang syahadat hingga sholat karena orang tuaku mendaftarkanku sebagai seorang muslim dalam TK tersebut, jadi aku terpaksa mengikuti pelajaran ini hingga SMA aku pun tak pernah tertarik untuk memperdalam agama. Hingga akhirnya aku dipertemukan dengan dunia perkuliahan.
Aku adalah orang yang sangat emosional, segala hal baik yang besar maupun kecil sangatlah mengganggu emosiku yang labil. Jika tidak ku pendam, akan aku curahkan kepada teman dekatku. Aku punya banyak teman di kampus, dari berbagai macam agama, suku, daerah, hingga level ekonomi. Lagi-lagi di Kampus aku dipaksa untuk belajar agama Islam dalam mata kuliah MPKA, aku benci kondisi ini, aku hanya mengejar nilai A di kelas yang sangat membosankan ini. Aku masih mempertanyakan apakah ada Tuhan di dunia ini sejak dulu hingga sekarang belum berubah. Ya, akulah sang agnostik, alangkah senangnya akupun menemukan teman yang sepaham denganku di Kampus. Kami berbicara banyak hal tentang betapa fiktifnya Tuhan. Aku semakin enjoy dengan kondisiku saat ini.
Tahun kedua, aku mengikuti salah satu organisasi di kampusku, banyak teman, banyak pengalaman, dan tentunya banyak tugas yang sangat membebaniku. Aku kenal dengan seorang muslim yang sangat religius, Rian namanya, terkadang aku melihatnya sebagai seorang yang bodoh yang mau bersujud didepan sesuatau yang fiktif bagiku. Seiring berjalannya waktu, banyak hal, mulai dari tugas organisasi hingga hubunganku dengan teman dekatku yang mulai menyebalkan membuatku sangat depresi, sangat stress!
“Kenapa to? Sakit?”, tanya Rian padaku yang tiduran dilantai sekretariat organisasiku.
“Stress gua! Ga tau lagi, udah tugas-tugas organisasi belom selese, eh si Ani nggsk jelas diajak kerjasama! Sebel Gua!”, jawabku sinis.
“Perasaan Lo juga ikut banyak organisasi Yan… Kok, nggak se stress gua?” tanyaku pada Rian.
“Boy, itulah kenapa gua masih percaya Tuhan, masih percaya Allah, karena gua masih bisa curhat ke Allah kalo gua susah, ga perlu ke orang lain yang belum tentu ngerti masalah kita”, jawab Rian padaku.
Sejenak aku tak memikirkan kata-katanya tadi, aku hanya mengikuti gerak gerik Rian setiap hari. Dia selalu sholat tepat waktu, berkumpul dengan orang-orang yang penuh senyum. Perlahan aku mencoba untuk sholat dengan benar. Aku dalami sedikit demi sedikit tentang sholat dan “curhat” kepada Tuhan yang kurasa mulai menampakkan diriNya dihatiku.
“Ada apa to?”, tanya Rian kepadaku.
“Ajarin gua tentang Islam dan sholat dong, please!”
“Wah, kebetulan, sore ini ada mentoring sama kak Adit, ikut aja, Oke?” jawab Rian padaku.
Waktu terus berjalan dan Aku mulai menyadari bahwa Tuhan, bahwa Allah itu selalu ada didekatku, selalu melindungiku, selalu mengujiku, dan selalu memberiku nikmat yang tiada tara. Inilah hidayah Allah yang mungkin menjadi nikmat terbesar bagiku. Aku bertekad untuk mendakwahi orang tua ku juga agar merekapun mendapatkan apa yang aku dapat. Semoga mereka mau menerimanya, Aku hanya wajib berusaha, pada akhirnya Allahlah yang menentukan. Bismillahirrahmaanirrahiim!
Note: Tulisan Lama
This is something