Perpecahan dan persatuan selalu beiriringan terjadi pada sebuah kelompok hingga pada level negara bahkan dunia. Sumber persatuan adalah toleransi dan persamaan, sumber perpecahan adalah ego dan perbedaan. Manusia seringkali lebih suka perpecahan karena disana ada kepuasan, “saya menang” dan “dia kalah”, rasa-rasanya ini adalah default manusia agar dinamis hidup ini. Di dalam dunia kompetisi saat ini konsep “Win-win” hanyalah bungkus yang pada akhirnya berakhir pada konsep “Win-Lose”.
Akan tetapi, manusia juga rindu perdamaian, persatuan, dan sinergi, sehingga kita dapat melihat banyak usaha perdamaian, kerjasama, dan komunitas-komunitas. Kata “Kita” menjadi sebuah kata penyemangat persatuan yang sangat mendalam maknanya dalam sebuah kelompok atau komunitas. “Kita” selalu menjadi perekat, “Kita” selalu menghancurkan ego dan perbedaan, dan “Kita” membuat semuanya menjadi ringan untuk dikerjakan.
Islam selalu mengenal apa yang disebut dengan “keberjamaahan” yang memiliki makna yang sama dengan “Kita”. Mulai dari sholat “berjamaah” hingga anjuran untuk berbuat baik “bersama-sama”, Islam selalu mengutamakan persatuan ketimbang perpecahan. Lalu, kenapa banyak organisasi Islam terpecah belah? Semua berawal dari munculnya “Aku” yang mulai menggantikan “Kita”.
Kunci Selamat
Pernahkah kita berpikir, mengapa Allah meminta kita untuk berjamaah, sedangkan di akhirat nanti kita akan sendiri-sendiri? Allah yang Maha Penyayang memberikan kita kemudahan untuk selamat dari dunia ini dengan bekerja sama satu sama lain, namun Allah adil dengan tetap menghitung amal secara individual di akhirat nanti. Kunci awal dari semua itu adalah niat Ikhlas karena Allah semata.
Ikhlas adalah kata yang singkat namun tidak mudah untuk dilaksanakan apalagi jika terkait dengan bekerja dalam kata “Kita”. Seringkali, kontribusi seorang “Aku” menjadi racun niat yang pada akhirnya merusak tatanan yang ada di “Kita”. Keikhlasan dalam berjamaah seringkali diuji ketika peran seseorang menjadi tidak terlalu terlihat dimata publik atau bahkan tidak mendapatkan banyak perceived benefit dari perjuangannya selama ini.
Setan mudah menghasut manusia dengan keinginan berkuasa/mendominasi, keinginan akan harta, dan keinginan-keinginan lain yang sangat menggiurkan. Bahkan, begitu pandainya setan, alasan menjaga ideologi pribadi menjadi pembenaran perpecahan ketimbang persatuan. Lebih parahnya lagi, manusia mudah terhasut ketika merasa kontribusinya tidak dihargai orang lain, menurutnya jauh lebih penting dikenal di dunia ketimbang terkenal di langit. “Kalo bukan karena saya, maka….” , “…mereka akan datang saat mudah-mudahnya saja…”, “…. mereka akan ambil keuntungan dari usaha kita selama ini….”, dan masih banyak pikiran-pikiran lain yang menjadi sumber perpecahan.
Introspeksi Ikhlas
“Kalo bukan karena saya, maka….” Konsep ikhlas karena Allah menuntut manusia untuk instrospeksi diri tentang niatnya dalam bekerja. Jika manusia masih “mengklaim” bahwa pekerjaan yang ia lakukan adalah kontribusinya sendiri dalam sebuah kelompok, maka perlu dipertanyakan keikhlasannya karena sesungguhnya tanpa ia membuat “klaim”, Allah sudah mencatat amalannya tanpa dikurangi sedikitpun. Sebaliknya, jika ia menyebut-nyebut kontribusinya meskipun dalam hati dan tindakannya secara tidak langsung, hal ini membuat semua amalannya menjadi sia-sia.
“…mereka akan datang saat mudah-mudahnya saja…”, “…. mereka akan ambil keuntungan dari usaha kita selama ini….” Jika manusia merasa dirugikan karena memberikan keuntungan kepada orang lain, maka keikhlasannya ternodai karena berburuk sangka terhadap sesama dan bukan sikap yang seharusnya diterapkan oleh seorang mukmin. Seorang mukmin seharusnya senang, jika apa yang ia lakukan bermanfaat untuk orang lain, bahkan menjadi besar dan membuat orang lain itu terkenal di dunia. Bukankah Allah Maha Adil dan Maha Melihat? Memberi kemudahan yang lain adalah investasi besar untuk akhirat manusia.
Contoh paling mudah tentang bagaimana keikhlasan itu seharusnya diterapkan adalah ketika manusia harus tetap menghormati dan menyayangi orang tuanya meskipun orang tuanya membenci dan bahkan tidak mengakui. Seorang istri tetap harus mematuhi suami (dalam kebaikan) meskipun terkadang perangainya tidak menyenangkan. Atau ketika manusia memaafkan kesalahan seseorang meskipun berat. So, sudahkah niat ikhlas ada pada “Aku” sehingga menjadi “Kita”?
Bersatu kita Teguh, Bercerai kita Bersatu lagi!
Agenda kebaikan “Kita” boleh jadi terhenti karena “Aku”, namun percayalah masih banyak “Aku” dengan keikhlasan yang mendalam sehingga “Kita” akan tetap bersatu kembali hingga semua “Aku” selamat dari dunia yang sementara ini 🙂