3600 detik kata hati seorang srikandi (S) tidak akan pernah membuat telinga ini lelah. Aku selalu siap mendengarkannya, meresponnya, menenangkannya, menghiburnya
Kadang ia kuat, kadang ia rapuh, kisah hidupnya begitu menarik untuk diceritakan. Aku menjadi bagian dari kisah hidupnya, aku lebih banyak mendengarkannya
Pagi menyingsing, keributan kembali terjadi. Hari ini ia kembali berperang dalam hatinya, ia dihadapkan pada pilihan yang tidak bisa dipilih salah satunya. Baginya seorang anak adalah tanggungjawabnya, ia harus terus merawatnya meskipun sangat sulit untuk diatur. Namun, berbeda dengan suaminya yang sudah gerah dengan anaknya yang sok gagah
Hanya tangis yang aku dengar, ia menjadi tameng masing-masing. Suaminya menyalahkannya karena terlalu halus dalam mendidik dan ia sudah tidak mau lagi menggunakan kekerasan untuk mendidik anaknya, N
Pergaulan malam N mengubah sifatnya yang penurut menjadi pembangkang, dalam pikirannya hidup bebas sendiri adalah solusi terbaik baginya. Ia tak suka dinding penghalang, rantai aturan, dan beragam keinginan orang tuanya untuk dirinya.
Menurutnya hidup mengalir adalah yang terbaik, tak heran jika ia melepas sekolahnya atas nama kebebasan. Entah apa yang merasukinya, teman-temannya berhasil mencuci isi otaknya dengan kebebasan semu. Berawal dari sinilah, S menjadi orang yang paling menderita melihat dan menanganinya
Pagi itu, hati S kembali tercabik-cabik, melihat suaminya yang bertengkar dengan N sehabis pulang dari kehidupan malamnya. Ia hanya dapat menengahi dan menjadi sasaran amarah keduanya, saling menyalahkan S karena sikapnya yang berada ditengah
Suaminya yang tak begitu paham agama menganggap N sebagai sampah yang harus dibuang jauh-jauh. S tidak pernah bisa melakukannya, baginya hanya waktu yang dapat mengubah N kembali ke jalan yang benar. Bahkan baginya, lebih baik berpisah dengan suaminya daripada harus membuang anaknya
“Aku harus gimana? mau gimanapun dia anak ibu, aku dah ga tahan sama bapak, dia nyalahin terus. hari-hari jadi ga tenang. Apa aku pisah aja sama bapak yah” ujarnya sambil menangis
“Ssst, coba tenangin diri dulu, jangan terbawa suasana, Istighfar dulu”
“Sebenernya kalo diratapin begini Ibu malah rugi”
“Kok rugi?”
“Iya rugi, karena yang harusnya panen pahala malah kena dosa”
“Semua terserah keputusan masing-masing, tapi satu hal yang perlu diingat, ketika beneran jadi pisah yang paling senang adalah setan rumah tangga! Itu pencapaian tertinggi mereka”
“Sebenernya Ibu sedang panen banyak, panen banyak pahala. Peran Ibu sebagai orang tua adalah terus merawatnya, mendidiknya agar selamat. Peran Ibu sebagai seorang istri adalah patuh kepada suami untuk hal yang baik-baik. Kalo semua itu sudah dilakukan, serahkan sisanya ke Yang Maha Kuasa”
“Kita hidup cuma sementara, mungkin abis ini akan mati, entah aku duluan atau ibu atau Allah masih kasih waktu yang lama buat kita. Kita hanya boleh sedih karena keburukan-keburukan yang kita lakukan, ujian-ujian ini kan tandanya Allah sayang banget sama Ibu”
“Iya sih, tapi kan sabar ada batesnya…”
“Emang batesnya apa? tembok? hehe”
“Ah, kamu bisa aja”
“Yah emang gampang ngomongnya, aku juga ga bakalan kuat kalo di posisi itu, itu kenapa Allah pilih Ibu buat ada di posisi itu, karena Ibu kuat, strong gitu loh!”
“Niatin aja nasihatin si N karena Allah untuk ibadah, untuk bekal nanti. Pun juga sama saat nasihatin bapak, masalah mereka pake apa engga bukan urusan kita. Allah yang Maha membolak-balikkan hati, jadi sambil doain aja”
Detik 3621 percakapan kami berakhir dengan menertawakan masa lalu, mengingat masa-masa lucu, kebodohan-kebodohan tindakan, hingga keluguan diri karena terlalu banyak memikirkan masalah duniawi
Aku hanya bisa jadi telinga untuknya, mendengarkannya meski dengan cerita yang sama hingga telinga ini sudah tak lagi mendengar atau ceritanya telah ditutup olehNya
(bersambung…)